Created (c) by Princexells Seyka (Princelling Saki)

Resensi Dwilogi Padang Bulan

Novel Padang Bulan sebagai novel pertama pada dwilogi Padang Bulan masih mengusung tema pergulatan seseorang yang tidak kenal menyerah dalam mengatasi kesulitan hidup (lebih banyak diceritakan pada Cinta di Dalam Gelas) dibandingkan pada Padang Bulan. Kenyataan yang dialami oleh sebuah keluarga miskin menjadi sasaran yang memang empuk untuk sebuah drama, dan salah satu keluarga yang dramatis itu adalah keluarga Zamzami (ayah Enong).
Enong dengan nasib yang kurang beruntung (di mata banyak orang yang mengutamakan uang dari segala hal), menjadi tokoh yang dihadirkan untuk mengaduk zat kimiawi dalam hati para pembaca, semangat hidupnya, semangat belajarnya dan semangat perempuannya sungguh mengagumkan.

Himpitan kemiskinan bukan batu sandung bagi Enong (nama kecil Maryamah), tersebut dia masih memiliki resolusi hidup atau semacam life list (hal-hal penting yang ingin mereka capai dalam hidup) yang justru melampaui status/kondisi sosialnya. Bayangkan seorang  perempuan (pertama) penambang timah tradisional memiliki keinginan dan kegigihan yang tinggi untuk belajar Bahasa Inggris. Meskipun untuk itu dia harus menempuh jarak sejauh 100 km di akhir pekan ke tempat kursus.

Kesan yang mendalam dan mengaduk-aduk emosi justru kita temukan di awal, Mosaik 1 yang berjudul Lelaki Penyayang. Dari sebuah narasi menggelikan yang membuat kita terkekeh (terutama jika kita pernah menaksir lawan jenis di usia remaja) berakhir dengan tragedi menyedihkan yang mebuat mata kita berkaca-kaca. Kejutan yang seharusnya menjadi saat paling membahagiakan bagi sebuah keluarga sederhana justeru berubah menjadi kejutan akibat malapetaka.

Seperti yang dikatakan Andrea Hirata ini adalah novel kultural yang hendak memotret kehidupan orang Melayu (Belitong). Hal itu tergambar secara sempurna dalam novel kedua Cinta di Dalam Gelas. Orang Melayu yang memiliki budaya lisan sangat tinggi menemukan tempat yang pas untuk “melestarikan” budaya tersebut di warung kopi. Lihatlah bagaimana penasarannya seorang isteri tentang rasa kopi dari warung kopi yang katanya lebih enak dari kopi buatannya. Kemudian diam-diam dia membeli kopi dari warung kopi dan membawanya pulang dengan harapan suaminya tidak ngopi di warung. Tapi apa kata suaminya, kopi tersebut tidak seenak kopi buatan warung kopi.

Di novel kedua inilah Maryamah mendapatkan nama belakang Karpov karena memakai metode pertahanan permainan catur ala Anatoly Karpov. Maryamah memakai permainan catur sebagai medium perlawanan terhadap hegemoni atau kesewenang-wenangan kaum lelaki terhadap dirinya di masa lalu. Perlawanan ini menempatkan Maryamah pada jajaran perempuan ideal yang bertarung dengan gaagah berani guna membuktikan eksistensi dirinya.
Dalam novel kedua, Cinta di Dalam Gelas, romantika Ikal dan A Ling digantikan oleh romantisme keluarga Maryamah, berikut beberapa petikan yang sangat manis;

“Jika kuseduhkan kopi, ayahmu menghirupnya pelan-pelan lalu tersenyum padaku”. Meski tak terkatakan, anak-anaknya tahu bahwa senyum itu adalah ucapan saling berterima kasih antara ayah dan ibu mereka untuk kasih sayang yang balas membalas, dan kopi itu adalah cinta di dalam gelas.

Artikel Terkait: Resensi Dwilogi Padang Bulan

Description: Resensi Dwilogi Padang Bulan Rating: 5.0 Reviewer: Admin ItemReviewed: Resensi Dwilogi Padang Bulan
Comments
0 Comments

{ 0 komentar... read them below or add one }